03/05/2015
PENGERTIAN AQIDAH ISLAM
I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Segala
sesuatu yang Allah SWT ciptakan bukan tanpa sebuah tujuan. Allah SWT
menciptakan bumi beserta isinya, menciptakan sebuah kehidupan di dalamnya,
bukanlah tanpa tujuan yang jelas. Sama halnya dengan Allah SWT menciptakan
manusia. Manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak sia-sia, manusia diciptakan
sebagai khalifah di bumi untuk mengatur atau mengelola apa yang ada di bumi
beserta segala sumber daya yang ada.
Di
samping kita sebagai manusia harus pandai-pandai mengelola sumber daya yang
ada, sebagai seorang manusia juga tidak boleh lupa akan kodratnya yakni
menyembah sang Pencipta, Allah SWT, oleh karena itu manusia harus mempunyai
aqidah yang lurus agar tidak menyimpang dari apa yang diperintahkan Allah SWT.
Penyempurna
aqidah yang lurus kepada Alla SWT tidak luput dari aqidah yang benar kepada
Malaiakat-Malaikat Allah, Kitab- kitab yang diturunkan oleh Allah kepada para
Rosul-rosul Allah untuk disampaikan kepada kita, para umat
manusia.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah aqidah
itu?
2. Apakah sumber
dari aqidah?
3. Bagaimana aqidah
jika di tinjau dari ayat-ayat Al Qur’an?
4. Apakah manfaat
aqidah ?
1.3
Tujuan Penulisan
Makalah
ini ditulis untuk memenuhi tugas pendidikan agama islam dengan materi aqidah
islamiyah dan dengan tujuan agar kita lebih memahami apa itu aqidah secara
umum, aqidah menurut ajaran islam, sumber-sumber aqidah, pengertian
aqidah yang ditinjau dari ayat-ayat Al Qur’an, ruang lingkup
pembahasan dan manfaat dari aqidah untuk seorang muslim.
II Materi Pembahasan : Aqidah Islam
II.1 Pengertian
Aqidah Secara Umum
Aqidah secara umum bisa diartikan suatu ketetapan,
keyakinan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan tersebut
sehimgga keyakinan itu dijadikan pedoman dalam hidupnya entah itu salah ataupun
benar. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan
dengan keyakinan bukan perbuatan.
Jadi
kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti
adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
II.2 Pengertian Aqidah Islamiyah Dalam Ajaran
Islam
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah
al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang
disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal
ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Shahabat Umar bin Khathab radiyallahu anha. Dalam ajaran islam aqidah islamiyah
juga berarti keimanan dalam islam.
·
Iman
Membahas tentang prihal iman maka pembahasan tersebut menjurus
kepada ilmu aqidah. Ilmu aqidah tidak dapat dipisahkan
dengan permasalahan keimanan. Dengan demikian, membahas ilmu aqidah berarti juga
menerangkan segala sesuatu tentang keimanan serta rukun-rukunnya sebab yang
diisyaratkan dengan aqidah ialah al-iman.[2]
Iman berasal dari kata :
" ايمان " merupakan bentuk
masdar yang fi’il madhinya adalah " امن "
Yang menurut lughah (bahasa) artinya adalah :
صد قه ووثق
به
(Membenarkan serta mempercayakan). [3]
Secara etimologi berarti:
اٰمَنَ - يُؤْمِنُ - اِيْمَانًا -aamana-yu minu-iimaanan = Mengamankan.
اٰمَنَ بِ -aamana bi =
Percaya.[4]
Menurut para ahli kalam yang tercantum dalam kitab al-a’lamah
as-syayid husein affandi al-jisri at-tharabilisi yang berjudul al husunul hamidiyyah,
pengertian iman adalah sebagai berikut :
“membenarkan apa-apa
yang dibawa Rasulullah SAW. Yang diketahui kedatangannya secara pasti,
maksudnya tekad membenarkan apa-apa yang dibawa nabi itu dari sisi Allah SWT,
yang diketahui secara yakin kedatangannya disertai ketundukan hati.[5]
Menurut imam bukhari sendiri, iman
adalah:الايمان قول وعمل يزيد وينقص
ucapan dan amalan (pekerjaan), bertambah dan berkurang.[6]
Menanggapi pernyataan beliau tersebut tentang bertambah serta
berkurangnya iman di jawab berbeda oleh ulama yang masuk
dalam pembahasan ilmu kalam. Apakah benar iman itu bisa bertambah serta bisa
pula berkurang?
Senada dengan pernyataan tersebut imam al-asy’ari menyatakan bahwa iman itu
bisa naik serta bisa pula turun. Dapat bertambah akan tetapi dapat pula
berkurang.
Pernyataan beliau tersebut menyatakan bahwa bukan pengertian iman secara esensi
yang dapat bertambah serta berkurang akan tetapi yang disebutkan beliau itu
adalah pengertian iman secara sifat.
Kemudian menurut al-bazdawi iman tidak bisa naik maupun turun atau
tidak dapat bertambah maupun berkurang. Hanya saja beliau mencontohkan bahwa
iman tersebut adalah suatu benda yang terkena cahaya yang mana cahaya tersebut
akan membuat bayangan, bayangan benda tersebut dapat berupa bayangan yang
sedikit bisa pula berupa bayangan yang banyak sesuai dengan cahaya yang di
berikan kepada benda tersebut. Nah jika benda tersebut dimisalkan dengan iman,
apakah benda tadi dengan sendirinya bisa bertambah serta bisa berkurang? Tentu
tidak bukan, karena yang dapat bertambah serta berkurang adalah bayangan dari
benda tersebut dan bayangan itulah yang dimaksudkan sebagai iman yang bisa
bertambah dan berkurang.
Seseorang
yang telah beriman wajib menjaga keimanannya dari segala perbuatan buruk yang
akan mengakibatkan rusaknya iman tersebut.[7]
Iman itu belumlah cukup apabila hanya diucapkan dengan lidah saja, tetapi harus
disertai dengan amal saleh, yaitu melaksanakan semua perintah syari’ah agama.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW.:
“Iman
ialah kepercayaan (diyakini) di dalam hati, ditetapkan (diucapkan) dengan
lidah, dan dilaksanakan dengan anggota badan (perbuatan).”
Ada pula riwayat hadits
yang menjelaskan tentang keagungan iman, seperti riwayat berikut.
Dikeluarkan
oleh Bukhari (6443) dan Muslim (94) dari Abi Dzar r.a. ia berkata: “pada suatu
malam aku keluar rumah, tba-tiba kulihat Rasulullah s.a.w. berjalan sendirian
tidak ada seorangpun yang bersamanya, lalu aku berkata dalam hati: mungkin
Rasulullah saw. Ingin sendirian, “ Abu Dzar r.a. berkata “ aku kemudian
berjalan di bawah bayang-bayang rembulan, Rasulullah saw. Menoleh dan melihatku,
“kemudian berkata: “siapakah ini?”, aku menjawab: ” aku Abu Dzar, “ beliau
berkata: “ wahai Abu Dzar kemarilah,” abu dzar r.a. berkata: “ lalu aku
berjaalan bersamanya sejam lamanya, “ maka beliau bersabda: “ sesungguhnya
orang yang memperbanyakharta didunia mereka itulah yang akan kemiskinan pada
hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan oleh Allah subhanahu wa taala,
hingga ia membelanjakan hartanya dari samping kanan, kiri, dari depan, belakang
dan selalu berbuat kebaikan, : Abu Dzar berkata: “ aku berjalan bersama beliau
sejam lamanya”, kemudian beliau berkata kepadaku: “duduklah di sini! “, Abu
Dzar berkata: “Rasulullah saw. Menyuruhku duduk di sebuah tempat luas yang
dipenuhi dengan batu, “ beliau berkata: “ tunggu di sini sampai aku kembali,” Abu
Dzar r.a. berkata: “Rasulullah saw. Pergi ke sebuah tempat yang dipenuhi
batu hitam, hingga aku tidak melihatnya, dan akupun lama menunggu beliau,
tidak lama kemudian aku mendengar suaranya ketika hendak dekat padaku, “
setelah datang dan aku tidak sabar aku langsung bertanya kepadanya: “wahai nabi
Allah ! dengan siapa kau berbicara disana?: ”, aku tidak mendengar seorangpun
yang menjawabmu?, beliau menjawab: “ itu Jibril yang sedang datang dengan
membawa wahyu “, ia berkata kepadaku: “ Wahai Muhammad! Berilah kabar gembira
umatmu dengan surga bagi siapapun yang mati dan tidak berbuat syirik kepada
Allah sekalipun,“ lalu aku bertanya: “ Wahai Jibril! Meski ia melakukan zina
dan mencuri? “, Jibril menjawab: “Ya”, aku (Abu Dzar) bertanya: “ wahai Rasulullah!
Meski berzina dan mencuri?”, beliau menjawab: “Benar”, aku bertanya lagi:”
meski berzina dan mencuri?”, kemudian beliau menjawab: “ Ya, meskipun ia
meminum khomer (minuman keras)”. (demikian disebutkan dalam jam’ul
fawaid jilid 1 hal 7, dan ada tambahan dalam Riwayat Bukhari, Muslim Dan
Tarmidzi dalam pertanyaan keempat: “ meski kau tidak bisa menerimanya wahai Abu
Dzar”)[8]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa setiap orang beriman harus mengamalkan
keimanannya dalam perbuatan lahiriah dan batiniah (keyakinan hati yang didasari
oleh keikhlasan). Bila tidak demikian, maka keimannya belum sempurna.[9]
·
Islam
Islam berasal dari kata Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang secara
kebahasaan berarti 'Menyelamatkan'. beberapa istilah terpenting dalam pemahaman
mengenai keislaman, yaitu Islam dan Muslim. Kesemuanya berakar dari kata Salam
yang berarti kedamaian. Kata Islam lebih spesifik lagi didapat dari bahasa Arab
Aslama, yang bermakna "untuk menerima, menyerah atau tunduk" dan
dalam pengertian yang lebih jauh kepada Tuhan.
Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek
kebahasaan dan aspek peristilahan. Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari
bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan
damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti
berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri,
patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam
dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri
kepada Allah swt. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri,
bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah
dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan
tunduk kepada Allah.
Adapun pengertian Islam dari segi istilah, banyak para ahli yang
mendefinisikannya di antaranya Prof. Dr. Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa
Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai
Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu
segi, tetapi menganal berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah
agama perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan
atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam selaras
benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi
Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu
yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang Allah.
Kemudian menurut Hamka setelah manusia menerawang, berfikir,
merenung, membanding, mengukur, menjangka, pendeknya memfilosof, akhirnya
sampailah dia di ujung perjalanan. Di dinding yang tidak tersebrangi itu.
Segala macam telah dicobanya. Akhirnya yakinlah dia bahwa memang ada sesuatu
itu, dialah yang Mutlak, Dialah Yang Maha Kuasa, Dialah puncak (kata plato).
Dialah Tao, yang tak dapat diberi nama (kata Lao Tze). Maka insyaflah
manusia akan kelemahan dirinya, dan insyaf akan kemaha besarnya yang ada
itu. Maka menyerahlah dia dengan segala rela hati. Penyerahan yang demikian
dalam bahasa arab dinamai Islam.[10]
Dari pengertian Islam tersebut, adanya 3 aspek, yaitu:
a.
Aspek
vertikal
Mengatur antara makhluk dengan
kholiknya (manusia dengan Tuhannya). Dalam hal ini manusia bersikap berserah
diri pada Allah.
b. Aspek horizontal
Mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia. Islam menghendaki agar manusia yang satu menyelamatkan,
menentramkan dan mengamankan manusia yang lain.
c. Aspek batiniah
Mengatur ke dalam orang itu sendiri,
yaitu supaya dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan batin maupun kemantapan
rohani dan mental.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetian islam adalah sebuah
agama yang tidak membebani tidak pula memanjakan pemeluknya ( agama
pertengahan) yang mana tanpa ada paksaan untuk pemeluknya menyerah atau
tunduk sesuai dengan fitrahnya dan selamatlah mereka yang taat serta
benar-benar memegangnya.
·
Ihsan
Ihsan ( ناسحI ) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti
“kesempurnaan” atau “terbaik.” Dalam terminologi agama Islam, Ihsan berarti
seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak
mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa
sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.[11]
Ihsan ialah melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati karena
menyadari bahwa Allah selalu melihatnya, hingga ia merasakan berhadapan
langsung dengan Allah dan bahkan ia melihat Allah SWT. dengan hati nurani.
Semua itu dilakukannya dengan ikhlas.[12]
Seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ibadah apabila dia tidak
merasa melihat dengan tuhannya. Bila kita ingkar kepada Allah,
maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan
kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya
adalah untuk kebaikan manusia.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
“sesungguhnya Allah mewajibkan
al-Ihsan dalam segala masalah, oleh karena itu jika kalian berperang harus
dengan satria, dan jika menyembelih binatang pun harus dengan cara yang baik
(tidak sadis)”.[13]
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan
mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam
menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya
beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya.
Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah
dengan menunaikan hak-hak mereka.
Ihsan kepada makhluk ini
terbagi dua, yaitu:
a. Wajib
Yang hukumnya wajib,
misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah.
b. Sunnah
Yang hukumnya sunnah,
misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar
kewajiban seseorang.
Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik
kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau
perbuatannya.[14]
B. Hubungan antara iman, islam dan
ihsan
Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan
tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan
pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara ihsan, sebagai upaya pendekatan
diri kepada Allah.
Aqidah dalam ajaran agama islam erat kaitanya dengan
rukun iman yang berjumlah 6 yaitu :
•
IMAN KEPADA ALLAH
Meyakini bahwa Allah adalah sang pencipta semua
makhluk dan tidak menyekutukanya dengan sesuatu apapun. Percaya bahwa Allah itu
esa dan tidak ada yang menyamainya dzat dan sifat-sifatnya tidak ada sekutu
baginya dalam kekuasaan maupun ketuhananya. Dan juga percaya bahwa Allah tidak
ada mulanya serta kekal tidak ada kesudahanya.
•
IMAN KEPADA PARA
MALAIKAT ALLAH
Menyakini bahwa Allah telah menciptakan makhluk yang
bernama malaikat untuk membantu Allah swt dalam mengatur alam semesta beserta
isinya.
•
IMAN KEPADA
KITAB-KITAB ALLAH
Meyakini bahwa Allah swt telah menurunkan kitab-kitab
melalaui utusan-utusan Allah (Nabi dan Rasulnya) sebagai firmanya untuk
diamalkan dan dijadikan pedoman hidup serta mempercayai kebenaran isinya.
•
IMAN KEPADA
RASUL-ROSUL ALLAH
Meyakini bahwa Allah mengutus wakilnya dimuka bumi
untuk membawa kabar gembira bagi yang beriman kepada Allah dan kabar buruk bagi
yang mendustai Allah beserta nabi dan rasulnya.
•
IMAN KEPADA HARI AKHIR
Meyakini bahwa akan
ada hari dimana semua amal perbuatan kita ada
pertanggungjawaban atasnya. Kita
mengimani kebenaran hari akhir, yaitu hari kiamat, yang tiada kehidupan lain
sesudah hari tersebut
serta percaya adanya surga dan neraka. Surga balasan bagi orang yang beriman
dan neraka bagi orang yang mendustai Allah swt.
•
IMAN KEPADA QADHA’ DAN
QADHAR ALLAH
Percaya dan yakin pada keputusan serta kepastian yang ditentukan Allah pada alam
semesta. Mengimani takdir yang baik dan yang buruk; yaitu ketentuan yang telah
ditetapkan Allah untuk seluruh mahkluk-Nya dan ketentuan tersebut pasti terjaadi seperti kematian
dan hari kiamat.
II.3 Sumber-Sumber Aqidah
1.
Al – Qur’an sebagai sumber aqidah
Al
Qur’an adalah firman Alloh yang diwahyukan kepada Rasululloh sholallahu ‘alaihi
wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Alloh telah menjelaskan segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun
di akhirat. Bahkan jika dicermati, akan ditemui banyak ayat dalam Al Qur’an
yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun secara tersirat.
Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami
akidah yang bersumber dari Al Qur’an karena kitab mulia ini merupakan
penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan
masa.
2. As Sunnah
Seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah adalah satu jenis
wahyu yang datang dari Alloh subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari
Alloh tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman
Alloh
“Dan
dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali
wahyu yang diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4)
3.
Ijma’
Para Ulama
Ijma’
adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad
sholallohu ‘alaihi wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu
masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga
memahami dan mengamalkan ilmu.
4.
Akal
Sehat Manusia
Selain
ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam
Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta
memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal
juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak
terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan
sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
II.4 Tujuan
Aqidah Islam
Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang
baik yang harus dipegang teguh, yaitu :
1.
Untuk mengihlaskan
niat dan ibadah kepada AllahI
semata. Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagiNya, maka tujuan
dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepadaNya.
2.
Membebaskan akal dan
pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena
orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari
setiap akidah serta menyembah materi yang dapat di indera saja dan adakalanya
terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.
3.
Ketenangan jiwa dan
pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah
ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia
sebagai Tuhan yang mengatur, Hakim yang membuat tasyri’. Oleh karena itu
hatinya menerima takdir-Nya, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari
pengganti yang lain.
4.
Meluruskan tujuan dan
perbuatan dari penyelewengan dalam
beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena diantara dasar
akidah ini adalah mengimani para Rasul, dengan mengikuti jalan mereka yang
lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5.
Bersungguh-sungguh
dalam segala sesuatu dengan tidak
menghilangkan kesempatan beramal baik, kecuali
digunakannya dengan mengharap pahala. Serta tidak melihat
tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari
siksa. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani
kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.
(I ( وَلِكلُّ دَرَجَاتٌ مّمّبا
عَمِلُبوا وَمَبا رَببّكَ بغَِافِبلٍ عَمّبا يعَْمَلُبونَ 132 I
سورة النعام
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat
(sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al An’am : 132).
Nabi Muhammad I
juga menghimbau untuk tujuan ini dalam
sabdanya :
” الممؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف، وفي كببل
خير، احرص على ما ينفعك واستعن بالله ول تعجز وإن أصببابك شببيء
فل تقل لو أني فعلت كذا وكذا ولكن قل : قبدر اللبه ومبا شباء فعبل،
فإن لو تفتح عمل الشيطان “.
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh
Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masingmasing
terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu
yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah
dan janganlah lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka
jaganlah engkau katakan : seandainya aku kerjakan begini
dan begitu. Akan tetapi katakanlah : itu takdir Allah dan apa
yang Dia kehendaki dia lakukan. Sesungguhnya mengada-ada
itu membuka perbuatan setan.” ( HR. Muslim)
6.
Menciptakan umat yang
kuat yang mengerahkan segala yang
mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya
serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa peduli apa
yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu.
إنِمَّا الْمُؤْمِنوُنَ الّذِينَ آمَنوُا باِللّهِ وَرَسُولِهِ ثمُّ لَببمْ
يرَْتبَبابوُا وَجَاهَببدُوا I
(I ( بأِمَْوَالِهِمْ
وَأنَفُسِبهِمْ فِبي سَببيِلِ اللّبهِ أوُْلَئكَِ هُبمُ الصّبادِقُونَ 15
سورة الحجرات
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orangorang
yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang –rang
yang benar.” (QS. Al Hujurat : 15),
7.
Meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat dengan memperbaiki
individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih
pahala dan kemuliaan.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مّن ذَكرٍَ أوَْ
أنُثىَ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنحُْييِنَبّبهُ حَيبَباةً طَيبّبَبةً I
سورة النحل. (I(َ وَلَنجَْزِينَهُّمْ
أجَْرَهُم بأِحَْسَنِ مَا كاَنوُا يعَْمَلُون 97
“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki
maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan balasan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang paling baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. An Nahl 97)
Inilah sebagian dari tujuan akidah
Islam, Kami mengharap
agar Allah merealisasikannya kepada Kami dan seluruh umat Islam.
III Penutup
III.1 Kesimpulan
Aqidah
adalah ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan,
atau sebuah keyakinan. Keyakinan yang kokoh kepada Allah SWT dimana tidak ada
keraguan di dalam dirinya. Yakin bahwa Allah itu Esa/ satu, dan tidak berbuat
kafir atau menyekutukan Allah.
Aqidah
islam itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah, bukan dari akal atau
pikiran manusia. Akal pikiran itu hanya digunakan untuk memahami apa yang
terkandung pada kedua sumber aqidah tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan
diamalkan.
Atas
dasar ini, akidah merzcerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan
mu'jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan
Islam.
Keyakinan
harus di dasari dengan mengesakan Allah, karena barang siapa yang menyakin
adanya Tuhan maka hendaknya harus yakin bahwa Allah itu esa/satu. Seperti di
tuangkan pada surat Al Ikhlas bermakna memurnikan ke esaan Allah SWT,
diterangkan bahwa kandungan Al-Qur’an ada tiga macam: Tauhid, kisah-kisah dan
hukum-hukum. Dan dalam surat ini terkandung sifat-sifat Allah yang merupakan
tauhid. Dinamakan surat Al-Ikhlash karena didalamnya terkandung keikhlasan
(tauhid) kepada Allah dan dikarenakan membebaskan pembacanya dari syirik
(menyekutukan Allah )